SELAMAT DATANG

Bagian dari sebuah usaha untuk menjadikan apa yang kita miliki dapat bermanfaat bagi orang lain dan diri sendiri.

Kamis, 07 Juni 2012

Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Ganggguan Jiwa

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian besar masyarakat dunia termasuk Indonesia, krisis ekonomi, politik, sosial,  budaya, agama, ras, kepercayaan dan sebagainya tidak saja akan menjadikan masyarakat dengan potensi gangguan fisik berupa gangguan gizi, terserang berbagai penyakit infeksi dan sebagainya tetapi juga dengan potensi penyakit psikis berupa stress berat, depresi, skizoprenia dan sejumlah problem sosial dan spiritual lainnya.
Kecenderungan meningkatnya angka gangguan mental atau psikis di kalangan masyarakat saat ini dan akan datang, akan terus menjadi masalah sekaligus tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya komunitas profesi psikologi dan keperawatan ( Rasmun, S. 2001)
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan, pada rentang usia 5-14 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk. ( Atika Walujani,2007)
Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa gangguan mental disebabkan karena adanya gangguan oleh apa yang disebut ”roh jahat” yang telah merasuki jiwa, sehingga seseorang yang mengalami gangguan mental psikiatri harus diasingkan atau dikucilkan dan dipasung karena dianggap sebagai aib bagi keluarga. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena fenomena yang terjadi memang merupakan gambaran nyata bagi sebagian besar masyarakat, hal tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia taraf pendidikannya masih rendah.
Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidaktahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat, kondisi mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah social. ( Tarjum, 2007 )
Bertambahnya penyandang masalah gangguan mental juga disebabkan belum maksimalnya perawat dan psikolog dalam merencanakan intervensi penyakit dengan mengikutsertakan keluarga pada setiap upaya penyembuhan.  Kesenjangan ini mengakibatkan angka kekambuhan yang cukup tinggi, seringkali klien yang sudah dipulangkan kepada keluarganya beberapa hari, kemudian kambuh lagi dengan masalah yang sama atau bahkan lebih berat. Tidak sedikit juga keluarga yang menolak kehadiran klien kembali bersamanya. (Rasmun. 2004)
Data yang di himpun oleh peneliti mengenai jumlah pasien yang datang memeriksakan diri di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Diperoleh data sebagai berikut : pada tahun 2011 terdapat 5041 orang penderita gangguan jiwa yang terdiri dari 2732 (54.2 %) laki-laki dan 2301 (45.6 %) perempuan. Pada bulan desember 2011 terdapat 434 orang penderita gangguan jiwa yang datang memeriksakan diri di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara atau 108 orang dalam setiap minggunya.
Fungsi keluarga ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan gejala-gejala kejiwaan atau sakit jiwa yang dihadapi oleh salah satu anggota keluarganya, tidak hanya berbentuk affection, security and acceptance, identity and satisfaction,  affiliation and companionship, socialization dan controls, tetapi merupakan medan kontrol yang memberikan dan berkontribusi terhadap derajat sehat atau sakitnya anggota keluarga yang lain terhadap persoalan fisik, psikis, sosial atau spiritual yang dihadapi, terlebih ketika dia menghadapi persoalan gangguan kejiwaan yang bersifat patologis.
Dari penjabaran di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Ganggguan Jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Dr. Suprapto Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara”.


B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu: “bagaimana peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara ?”
C.  TUJUAN PENELITIAN
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.
2.    Tujuan Khusus
a.     Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan peran keluarga sebagai pendidik.
b.    Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan peran keluarga sebagai pengambil keputusan.
c.     Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan peran keluarga sebagai perawat.
d.    Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan peran keluarga sebagai pengubah lingkungan.
e.     Untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan peran keluarga sebagai penghubung.
D.  MANFAAT PENELITIAN
Peneliti berharap setelah melakukan penelitian dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
1.      Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pihak Rumah Sakit Jiwa Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara khususnya Ruang Poli Rawat Jalan  dalam memberdayakan keluarga pasien gangguan jiwa sebagai salah satu faktor pendukung dalam proses penyembuhan.
2.      Dapat dijadikan sumber informasi atau bahan bacaan bagi mahasiswa  STIKES AMANAH MAKASAR untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya mengenai peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa.
3.      Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti dalam hal mengenai peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa.
4.      Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi profesi keperawatan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan dapat dijadikan referensi bagi para peneliti selanjutnya.

Sabtu, 14 April 2012

Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Menstruasi Pada Siswi SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.
Menurut Depkes ri (2002), cirri-ciri seksualitas pada remaja dibedakan atas jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Remaja laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah yang umumnya terjadi paada usia 10-15 tahun. Hal ini terjadi akibat organ testis telah memulai memproduksi sperma. Sperma dikeluarkan jika kantung sperma telah penuh. Pada remaja putri ditandai dengan adanya peristiwa menstruasi(menorche). Menstruasi pertama ini menandakan bahwa remaja putri sudah siap untuk hamil.
1
 
Menstruasi bukanlah suatu penyakit. Menstruasi merupakan puncak dari serangkaian perubahan yang terjadi pada seorang ramaja putri yang sedang menginjak dewasa dan sebagai tanda ia sudah mampu hamil (Manuaba, 2009).
Dari hasil tentang hubungan antara stres dengan pola menstruasi pada mahasiswa D IV KebidananJalur Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta paling banyak mengalami stres ringan dengan siklus menstruasi normal yaitu sejumlah 40 responden (54,79%) dan urutan kedua sebanyak 15 responden (20,55%) mengalami stres ringan dengan siklus menstruasi normal dan dismenorea.  Dari analisis data menggunakan uji spearman rank corelation dengan taraf signifikansi (α) 0,05 atau tingkat kepercayaan 95%, diperoleh nilai p = 0,016 dan nilai korelasi spearman = 0,282. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan secara positif antara stres dengan pola menstruasi pada mahasiswa D IV Kebidanan jalur reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta (http://eprints.uns.ac.id/192/1/165240109201010581.pdf).
Data yang diperoleh di SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara tahun 2012 terdapat 271 orang siswi yang terdiri dari 93 orang (34.3 %) siswi kelas X, 86 orang (31.7 %) siswi kelas XI dan 92 orang (33.9 %) siswi kelas XII.
Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Menstruasi Pada Siswi SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012”

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu: “apa faktor-faktor penyebab gangguan menstruasi pada siswi kelas SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012 ?”
C.  Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Menstruasi Pada Siswi Kelas SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
2.    Tujuan Khusus
a.     Untuk mendeskripsikan penyebab gangguan menstruasi berdasarkan Kelainan Sistemik Pada Siswi SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
b.    Untuk mendeskripsikan penyebab gangguan menstruasi berdasarkan Stress Pada Siswi SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
c.     Untuk mendeskripsikan penyebab gangguan menstruasi berdasarkan Kelenjar Tiroid Pada Siswi SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara Tahun 2012.

D.  Manfaat Penelitian
Peneliti berharap setelah melakukan penelitian dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
1.      Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pihak SMA Negeri 1 Kabaena Kab. Bombana Sulawesi Tenggara dalam meningkatkan pengetahuan tentang menstruasi.
2.      Dapat dijadikan sumber informasi atau bahan bacaan bagi mahasiswa  STIKES AMANAH MAKASAR untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya mengenai faktor-faktor penyebab gangguan menstruasi.
3.      Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti dalam hal mengenai faktor-faktor penyebab gangguan menstruasi.
4.      Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi profesi keperawatan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan dapat dijadikan referensi bagi para peneliti selanjutnya.

Jumat, 17 Februari 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A.    Tinjauan Pustaka Tentang ISPA
1.      Pengertian ISPA
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut. (Depkes RI, 1994)
Infeksi adalah masuknya, tumbuh dan berkembangbiaknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.( Depkes RI, 1994)
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernapasan dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. (http://www. Litbang.depkes.go.id)
2.      Etiologi ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan ricketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa), Adenovirus,  Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain Streptokokus hemolitikus, stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetella pertusis, Korinebakterium diffteria. Ricketsia penyebab ISPA adalah Koksiela burnetti.  Jamur penyebab ISPA adalah Kokiodoides imitis, Histoplasma kapsulatum, Blastomises dermatitidis, Aspergilus, Fikomesetes.( Alsagaff, H., Mukty, A., 2002)
Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian daripadanya.
Penyebaran infeksi melalui aerosol dapat terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada 2, yakni: droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernapasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara) dan dust (campuran antara bibit penyakit yang melayang di udara). Penyebaran infeksi melalui aerosol dapat terjadi pada waktu batuk dan bersinbersin.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah tercemari oleh jasad renik (hand to hand transmission). (Alsagaff, H., Mukty, A., 2002)
Selain daripada itu faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimanaventilasi berguna untuk penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara dari ruang tertutup. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dan udara segar di dalam rumah, menyebabkan naiknya kelembaban udara, selain itu dapat menyebabkan terakumulasinya polutan bahan pencemar di dalam rumah khususnya kamar tidur sehingga memudahkan terjadinya penularan. (Umbul, Cw., 2004).
3.      Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA pada BALITA dibagi atas :
a.       Berdasarkan tingkat keperahannya
1)      Pneumoni berat
Bayi kurang dari 1 tahun yang nafasnya cepat atau dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat digolongkan sebagai pneumonia berat.  Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang dari satu (1) tahun yaitu 60 kali per menit atau lebih.
Untuk anak umur 1-4 tahun ditandai dengan adanya batuk dan kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2)      Pneumoni
Anak dengan nafas cepat dan tidak disertai tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam klasifikasi sebagai pneumonia (tidak berat). Patokan nafas cepat adalah 50 kali per menit atau lebih untuk bayi kurang dari 1 tahun dan untuk anak umur 1-4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
3)      Bukan pneumoni
Bayi kurang dari 1 tahun, frekuensi pernafasan < 60 kali per menit dan tidak mengalami tarikan dinding dada. Anak umur 1-4 tahun nafasnya tidak cepat dan tidak mengalami tarikan kuat dinding dada bagian bawah ke dalam.
b.      Berdasarkan anatomi
Menurut anatominya ISPA dibedakan menjadi ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. Adapun yang menjadi penyakit ISPA bagian atas adalah : pilek  (nasofaringitis), otitis media, faringitis akut (tonsilitis akut). Sedangkan yang menjadi penyakit ISPA bagian bawah adalah: laringitis, bronkitis, pneumonia.
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPA bagian bawah, yaitu pneumonia. Akan tetapi, tidak semua infeksi saluran pernafasan bawah akut dapat menjadi serius, sebagai contoh: bronkitis relatif sering terjadi dan jarang fatal. Sedangkan untuk ISPA bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil. Kunci untuk mengurangi kematian ISPA adalah dengan memastikan adanya akses yang lebih baik pada penanganan kasus pneumonia tepat pada waktunya. (Widjaja, 2003)
4.      Pencegahan penyakit ISPA
Dalam usaha mencegah penyakit ISPA, peran serta yang aktif dari masyarakat atau keluarga terutama ibu rumah tangga, karena ISPA sangat dipengaruhi oleh keadaan kebersihan lingkungan di dalam dan di luar rumah. Beberapa upaya untuk mencegah penyakit ISPA adalah: (Depkes RI, 2005)
a.       Memberikan imunisasi yang lengkap pada anak
Untuk mencegah ISPA dapat dilakukan dengan pemberian imunisaasi yaitu imunisasi campak pada anak usia 9 bulan.
b.      Perbaikan gizi anak
Dalam memperbaiki gizi anak, ibu sebaiknya diberikan petunjuk tentang cara-caranya.  Keadaan gizi seseorang merupakan suatu faktor penting bagi timbulnya ISPA.
c.       Menjauhkan anak dari penderita ISPA.
d.      Menjaga agar lingkungan tempat tinggal tetap bersih dan menjaga kebersihan perorangan
5.      Peñatalaksanaan
a.       Penatalaksaan medis
Pemberian pengobatan secara sistematis.
b.      Penatalaksanaan keperawatan
1)      Lakukan kompres hangat ntuk menurunkan demam
2)      Baringkan bayi dengan posisi miring untuk mengeluarkan secret atau lender.
3)      Beri minum hangat untuk mengurangi batuk pada waktu tidur.
4)      Beri makanan yang bergizi untuk mempercepat proses penyembuhan.
B.     Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA
1.      Factor agent (bibit penyakit)
Infeksi saluran pernapasan akut dapat disebabkan oleh virus, bakteri maupun riketsia, sedangkan infeksi bakterial merupakan infeksi virus yang disertai infeksi bakteri sekunder terutama bila ada epidemi atau pandemi. Kuman penyebab infeksi saluran pernapasan atas yang sering adalah disebabkan oleh virus yaitu Adenovirus, dan Miksovirus.( Alsagaff, H., Mukty, A., 2002)
Sementara itu, kuman penyebab infeksi saluran pernapasan bagian bawah sebagian besar penyebabnya adalah bakteri yaitu Streptokokus pneumonia dan Haemophylus influenzae.( Depkes RI, Oktober 2005)
2.      Pejamu (Penderita)
a.       Umur
Hasil analisis faktor resiko berdasarkan penelitian Djaja, S (1999) membuktikan faktor usia merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya kematian karena pneumonia pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita berusia muda.(Djaja, S., 1999)
b.      Jenis kelamin
Berdasarkan pada Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, anak laki-laki memiliki resiko lebih tinggi dari pada anak perempuan untuk terkena ISPA.( Depkes RI, Oktober 2005)
Menurut Glezen dan Denny dikutip dari penelitian Kartasasmita, CB. (1993),  anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan anak perempuan.15 Dan berdasarkan hasil penelitian Dewi, N.H. dkk (1996) didapatkan proporsi kasus balita penderita ISPA terbanyak terdapat jenis kelamin laki-laki, baik pada kelompok bayi (14,10%) maupun pada kelompok anak balita (44,87%). (Kushadiwijaya, H., 1996.)
c.       Status ekonomi
Status sosial ekonomi diantaranya tergantung pada jenis pekerjaan dan dapat berpengaruh pada tingkat penghasilan seseorang. Pekerjaan dengan tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik,  perawatan kesehatan dan gizi anak yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak  menyebab kan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk pneumonia.(Djaja, S., 1999)
Dalam kehidupan manusia factor ekonomi memegang peranan penting yang sangat menentukan karena hamper semua aktifitas hanya dapat dilaksanakan kalau ada dana dan fasilitas. Factor ekonomi merupakan jantung penggerak yang menentukan prospek dan masa depannya termaksud di dalam pembinaan langsung masa depan anak-anak.(Notoatmojo, 2002)
Factor ekonomi adalah tingkat pendapatan perkapita dalam setiap bulan yang dapat diklasifikasi berdasarkan standar pendapatan Sulawesi tenggara yaitu :
1)      Sangat tinggi               : Bila pendapatan perkapita > Rp 1.200.000
2)      Tinggi                          : Bila pendapatan perkapita > Rp 600.000-Rp 1.200.000
3)      Menengah                   : Bila pendapatan perkapita > Rp 350.000-Rp 600.000
4)      Rendah                        : Bila pendapatan perkapita > Rp 200.000-Rp 350.000
(BPS SULTRA 2007)
d.      Status gizi
Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu: mempengaruhi nafsu makan,  dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah-muntah atau mempengaruhi metabolisme makanan. Secara umum, defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan sistem kekebalan.
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk ISPA. Menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat ISPA.
Menurut Kartasasmita (1993), diketahui bahwa prevalensi ISPA cenderung lebih tinggi pada anak dengan status gizi kurang. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor risiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.
Adapun pengukuran antropometrik pada BALIT antara lain :
1)      Pengukuran badan menurut umur
2)      Pengukuran tinggi badan menurut umur
3)      Pengukuran berat badan berdasrkan tinggi badan
4)      Pengukuran lngkar lengan menurut umur.
Berdasarkan ukuran baku media WHO-NCHS, penggolongan status indeks antropometrik seperti yang tercantum dalam table berikut :
Status gizi
Ambang batas  baku untuk keadaan gizi berdasarkan antropometri
BB/U
TB/U
BB/TB
LLA/U
Gizi buruk
≤ 60 %
≤ 70 %
≤ 80 %
≤ 70 %
Gizi kurang
61 – 80 %
71-85 %
81-90 %
41-85 %
Gizi bsik
81-120 %
86 -120 %
91-120 %
85-120 %
Gizi lebih
≥ 120 %
≥ 120 %
≥ 120 %
≥ 120 %
(Supariasa, 2001)                                              
e.       Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berdasarkan pada Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, bayi yang memiliki berat badan lahir rendah memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena ISPA dari pada bayi dengan berat badan lahir normal.(Depkes RI, Oktober 2005)
f.       Imunisasi
Bayi dan anak tergolong kelompok berisiko tinggi terhadap penularan penyakit.  Oleh karena itu, diupayakan imunisasi yang tujuannya mencegah timbulnya penyakit.  Banyak penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sesuai dengan program pemerintah (Depkes) seorang anak diharuskan imunisasi terhadap 6 jenis penyakit utama yaitu TBC, Difteri, Tetanus, Pertusis, Polio dan Campak. Selain untuk pencegahan penyakit menular, imunisasi pada anak juga merupakan pemenuhan kebutuhan anak untuk menunjang proses tumbuh kembang yang ideal. (Lestari, W., 1997)
3.      Factor lingkungan
Kondisi kesehatan lingkungan perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi faktor timbulnya penyakit ISPA. Menurut Achmadi, yang dikutip oleh Chahaya (2005) kelembaban udara dalam rumah berkaitan erat dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya terutama gangguan pernafasan. Bila kelembaban ruangan makin tinggi, ini merupakan sarana perkembangbiakan yang baik untuk bakteri sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit ISPA.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya ISPA antara lain:
a.       Kepadatan hunian
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehingga oksigen berkurang dan CO2 meningkat dalam ruangan tersebut. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran (Cahaya, I., Nurmaini, 2005). Agar terhindar dari penyakit saluran pernafasan, maka ukuran ruang tidur minimal 9 m3 untuk setiap orang yang berumur di atas 5 tahun atau untuk orang dewasa, dan untuk anak umur di bawah lima tahun minumal 4,5 m3, sedangkan luas lantai minimal 3,5 m2 untuk setiap orang dengan tinggi langit-langit tidak kurang dari 2,75 m. (Sanropie dkk, 1991)
Menurut Soekidjo (1995) dikutip dari penelitian Indra Cahaya dkk (2005), luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni ini tidaklah sehat karena dapat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit infeksi. (Cahaya, I., Nurmaini, 2005)
b.      Ventilasi
Ventilasi sangat menentukan kualitas udara dalam rumah karena dengan ventilasi yang cukup akan memungkinkan lancarnya sirkulasi udara dalam rumah dan masuknya sinar matahari yang dapat membunuh bakteri. Untuk mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10 persen dari luas lantai.
Menurut Lubis (1985) ventilasi yang cukup berguna untuk menghindarkan dari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan manusia. Dengan ventilasi yang baik akan terjadi gerakan angin dan pertukaran udara bersih yang lancar (cross ventilation). Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dan udara segar di dalam rumah, menyebabkan naiknya kelembaban udara, selain itu dapat menyebabkan terakumulasinya polutan bahan pencemar di dalam rumah khususnya kamar tidur sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit terutama gangguan pernapasan.(Cahaya, I., Nurmaini, 2005)
C.    Tinjauan Tentang Anak Balita
1.      Pengertian
Anak balita adalah anak yang berusia dibawah lima tahun (1-5 tahun) merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat sehingga membutuhkan zat-zat gizi yang tinggi / kg berat badan. Anak balita ini justru kelompok umur yang paling sering menderita penyakit akibat kekurangan gizi, dalam hal ini kekurangan energy protein. (Sedia Oetama, 1996 :239).
Beberapa factor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang anak balita yaitu ispa, angka kesakitan mencerimkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan lingkungan (perumahan, kebersihan lingkungan, dan polusi udara) kemiskinan, kurang gizi.(Somalinggi, 1999:33).
Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Beberapa kondisi atau anggapan yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain sebagai berikut :
a.       Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa.
b.      Biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau ibunya sudah bekerja penuh
c.       Anak balita sudah mulai main di tanah dan sudah dapat main di luar rumah, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit.
d.      Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri, termaksud dalam memilih makanan. Dipihak lain ibunya sudah tidak begitu memperhatikan lagi makanan anak balita karena dianggap sudah dapat makan sendiri. (Notoatmojo, 2003 : 202)
2.      Perkembangan yang terjadi pada anak balita
a.       Usia 12 – 18 bulan
1)      Berjalan dan mengekplorasi rumah dan sekeliling rumah.
2)      Menyusun 2 atau 3 kotak.
3)      Dapat mengatakan 5 -10 kata.
4)      Memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing.
b.      Usia 18- 24 bulan
1)      Naik turun tangga.
2)      Menyusun 6 kotak
3)      Menunjuk mata dan hidung
4)      Menyusun 2 kata
5)      Belajar makan sendiri.
6)      Menggambar garis di kertas atau di pasir.
7)      Mulai mengontrol buang air besar dan buang air kecil.
8)      Menaruh minat kepada apa yang dikerjakan oleh orang- orang yang lebih besar.
9)      Memperlihatkan minat pada anak lain dan bermain-main dengan mereka.
c.       Usia 2-3 tahun
1)      Belajar melompat dan memanjat.
2)      Membuat jembatan dengan 3 kotak
3)      Mampu menyusun kalimat.
4)      Mempergunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang diajukan kepadanya.
5)      Menggambar lingkaran.
6)      Bermain bersama anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di luar keluarganya.
d.      Usia 3-4 tahun
1)      Berjalan-jalan sendiri mengunjungi tetangga.
2)      Berjalan pada jari kaki.
3)      Belajar berpakaian dan membuka pakaian sendiri.
4)      Menggambar garis silang.
5)      Menggambar orang hanya kepala dan badan.
6)      Mengenal 2 atau 3 warna.
7)      Bicara dengan baik.
8)      Menyebut namanya, jenis kelamin dan umurnya.
9)      Banyak bertanya.
10)  Bertanya bagaimana anak dilahirkan.
11)  Mengenal sisi atas, bawah, depan, dan belakang.
12)  Mendengar cerita.
13)  Bermain dengan anak lain.
14)  Menunjukan rasa sayang kepada sudara-saudaranya.
15)  Dapat melaksanakan tugas-tugas sederhana.
e.       Usia 4-5 tahun
1)      Melompat dan menari.
2)      Menggambar orang terdiri dari kepala, lengan dan badan.
3)      Menggambar segi empat dan segi tiga.
4)      Pandai bicara dan menghitung jari.
5)      Dapat menyebutkan nama-nama hari dalam seminggu.
6)      Mendengar dan mengulang hal-hal penting dalam cerita.
7)      Minat pada kata baru dan artinya.
8)      Memprotes bila dilarang apa yang dia inginkan.
9)      Mengenal 4 warna.
10)  Memperkirakan bentuk dan besarnya benda, membedakan besar dan kecil.
11)  Menaruh minat kepada aktivitas orang dewasa.
D.    Tinjauan tentang puskesmas
1.      Pengertian
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota (UPTD). Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia (Sulastomo, 2007).
2.      Fungsi dan Tanggung Jawab Puskesmas
a.       Fungsi
1)      Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
2)      Membina peran serta masyarakat di wilyah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3)      Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat wilayah kerjanya (Depkes, 1992).
b.      Tanggung jawab
Puskesmas hanya bertanggung jawab untuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila disatu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah keja dibagi antar puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa, kelurahan, RW), dan masing-masing puskesmastersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten/ kota (Sulastomo, 2007).
3.      Visi dan Misi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui penbangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup didalam lingkungan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya (Sulastomo, 2007).
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional, yaitu:
a.       Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
b.      Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.
c.       Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas.
d.      Memelihara dan meningkatkan kesehatan per orangan, keluarga, dan masyarakat, serta lingkungannya (Depkes RI, 2003).